Sabtu, 30 November 2013

Pesona Serabi Solo





                 Mendengar kata serabi, saya jadi teringat percakapan saya dengan dokter yang menangani saya di sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta sekitar 1 bulan yang lalu. Pada saat itu saya sedang berulang tahun dan secara tidak sengaja dikerjain oleh beberapa dokter yang bertugas di sana ketika sedang periksa. Salah satunya adalah tentang permintaan traktiran kalau saya kontrol lagi kesana. Entah kenapa tiba-tiba saya berpikir untuk membawakan mereka Serabi, kue khas dari Solo,Jawa Tengah. Begitu saya menawarkannya kepada salah satu dokter, dokter tersebut terlihat sangat bersemangat. “Ah, serabi dari Solo ya? Saya sangat suka. Rasanya sangat berbeda dengan surabi yang berasal dari Padang dan Sunda. Sedikit lembek tapi enak. Sangat unik.” ujar dokter itu sambil menuliskan anamnesa pada berkas saya. Diam-diam saya tersenyum tipis. Entah kenapa ada rasa senang ketika seseorang mengapresiasi hal-hal yang berkaitan dengan kota Solo. 

          Sesampainya saya di asrama, saya segera mencari informasi tentang serabi Solo dan cara pembuatannya. Notosuman. Yah, nama itu yang paling awal muncul ketika saya mengetikkan keyword “serabi” di search engine Google. Notosuman sendiri sebenarnya adalah nama sebuah jalan di kota Solo. Menurut sejarah, serabi Notosuman dirintis oleh sepasang suami istri keturunan Cina bernama Hoo Geng Hok dan Tan Giok Lan pada tahun 1923. Ide usaha ini bermula ketika salah seorang tetangga meminta tolong untuk dibuatkan kue apem. Lama kelamaan banyak orang yang menyukai kue buatan mereka sehingga muncullah inisiatif untuk membuat toko serabi. 

          Pembuatan Serabi Notosuman terbilang cukup unik. Beras yang digunakan sebagai bahan utama merupakan jenis beras Cendani. Beras tersebut juga ditumbuk secara manual untuk menjaga kualitas. Tak heran bila rasa dari Serabi Notosuman tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Tidak hanya dari bahan utama, penambahan rasa seperti coklat pada serabi juga sangat diperhatikan agar tidak terlalu mendominasi rasa serabi yang sesungguhnya. Dalam penyajiannya Serabi Notosuman hanya membuat 2 jenis serabi saja, yaitu serabi coklat dan serabi original (tanpa topping). Hal ini dilakukan untuk menjaga originalitas dari serabi itu sendiri. Melihat potensi yang ada, banyak masyarakat yang membuat usaha sejenis di kawasan Notosuman dan sekitarnya. Tentunya hal ini dirasa cukup menganggu karena pembeli dibuat bingung oleh berbagai toko yang mengklaim bahwa serabinya adalah serabi Notosuman yang asli. Hal ini sangat terasa ketika saya kemarin akan membeli serabi untuk para dokter tersebut. Terdapat 2 jenis serabi yang letaknya berdekatan, dan hanya berbeda warna pada kardus pengemasannya. Tapi entah kenapa pada waktu itu saya melihat ada sebuah logo santan kemasan yang menjadi sponsor pada salah satu toko sehingga saya lebih memilih ke toko disebelahnya yang mengaku masih menggunakan santan murni.

          Seiring berjalannya waktu, kini terdapat salah satu varian unik dari serabi yaitu serabi gulung. Sebenarnya serabi ini tidak terlalu berbeda dengan serabi pada umumnya. Hanya dalam pengemasannya serabi ini digulung dan di ikat dengan lembaran daun pisang dengan alasan memudahkan pembeli ketika akan memakannya. Selain itu, cara ini juga efektif untuk menjaga serabi agar tetap hangat ketika baru diangkat dan akan dinikmati.

          Terlepas dari hal tersebut, banyak testimoni yang beredar di masyarakat khususnya di Yogyakarta tentang Serabi Notosuman. Banyak kalangan yang lebih mengenal serabi daripada kue-kue lain. Tidak hanya orang Indonesia yang menyukainya, salah satu teman saya dari Australia sangat menyukai serabi ketika pertama kali memakannya. Yah, itulah sekelumit pengalaman saya tentang Serabi Notosuman. Ingin mencobanya? Silahkan datang ke Solo dan buktikan.