Selasa, 08 November 2011

Dendam yang Salah

Lintang berjalan tergesa-gesa menyusuri jalan utara Malioboro. Lintang terlihat sangat kesal karena mobilnya tiba-tiba macet sementara dia harus menghadiri meeting dengan kliennya pukul 2 siang nanti. Berkali-kali dia membuang muka ke arah jalan,berharap ada taksi lewat. Sepertinya hari ini benar-benar sial baginya. Mobil macet,hp mati. Lintang melirik jam tangannya,pukul 13.45. Kurang 15 menit lagi. Wajahnya diliputi kecemasan yang amat jelas terlihat. Bagi Lintang ini adalah pertaruhan nama perusahaan,apa kata kliennya kalau sebuah perusahaan garmen yang terkenal sangat ontime justru telat menghadiri rapat hanya karena mobil macet. Memalukan. Berkali-kali matanya memandang sekeliling berharap ada seseorang yang dikenal atau taksi yang lewat. Tapi memang mungkin dirinya sedang sial,setiap taksi yang lewat selalu saja berpenumpang. Untung Lintang melihat halte TransJogja tak jauh dari situ.
Lintang semakin mempercepat langkahnya ke arah halte TransJogja. Apapun yang terjadi dia harus sampai tepat pada waktunya kalau tidak nama taruhannya. Tiba-tiba Lintang bertabrakan dengan seorang laki-laki.
“Kalo punya mata dipake dong mas!” teriaknya. Orang itu malah berlari dan tidak memperdulikan Lintang. Emosinya sedang kacau malah ditabrak orang pula. Jelas saja Lintang langsung senewen. Tapi entah kenapa,mata Lintang malah tertuju pada benda yang dibawa laki-laki itu. Seperti dompetnya. Dia langsung melihat isi tasnya. Dompetnya raib.
“Copeeeeeet!” teriak Lintang sekeras-kerasnya begitu menyadari dompetnya telah dicopet. Orang-orang di sekitar Lintang pun langsung berlari mengejar laki-laki itu. Laki-laki itu berhasil ditangkap dan langsung dihajar hingga babak belur.
“Ini mbak dompetnya.” kata seorang tukang becak yang ikut menolong Lintang sambil menyerahkan dompet Lintang. Lintang langsung memeriksa isi dompetnya. Untunglah uang,ATM,dan kartu-kartu penting lainnya masih di dalam.
“Terimakasih ya,Pak.” kata Lintang sambil tersenyum.
Kerumunan pun bubar. Pencopet itu dibiarkan saja tergeletak di pinggir jalan dengan wajah babak belur akibat dihajar massa. Rasa iba Lintang timbul. Dia ingin melihat wajah pencopet itu. Tiba-tiba seluruh tubuh Lintang rasanya lemas. Itu Mas Danu. Kakak laki-lakinya sendiri yang sudah 10 tahun dia hindari. Kakak yang dulu pernah menjualnya kepada preman yang menjadi bos pengemis demi mendapatkan uang untuk berjudi.
Tiba-tiba kejadian 10 tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya. Lintang teringat ketika dia masih menjadi anak jalanan. Ketika Mas Danu dan temannya menjualnya ke seorang preman. Untunglah waktu itu Lintang bisa lolos. Tapi sejak saat itu Lintang membencinya. Sangat membencinya. Membenci orang yang seharusnya dia hormati. Meskipun Mas Danu satu-satunya keluarga yang dia punya. Dia tak tahu harus menghormati atau tidak orang yang nyaris menghancurkan masa depannya? Dan sekarang orang itu terkapar di depannya. Berlumuran darah dan sekujur tubuhnya lebam. Sekarat. Matanya memandang Lintang nanar. Beribu penyesalan terlihat jelas di mata tuanya.
Lintang berjongkok di samping tubuh kakaknya. Tiba-tiba Mas Danu memegang tangannya. Tangan itu masih seperti dulu. Terasa dingin. Lintang masih ingat ketika dulu tangan kekar itu selalu menampar dan memukulnya. Mata Lintang semakin menyiratkan rasa kecewa yang sangat besar. Kenapa dia harus terlahir sebagai adik dari Mas Danu? Kenapa orangtuanya meninggalkannya dengan Mas Danu? Kenapa dia tidak memiliki kakak laki-laki yang selalu melindungi adik perempuannya seperti teman-temannya dulu. Setidaknya dia tidak harus menikmati masa kecilnya dengan rasa ketakutan akibat mempunyai kakak seperti Mas Danu.
“Aku benci Mas Danu.” kata Lintang pelan.
“Lintang,maafkan Mas... “ kata Mas Danu lirih. Tiba-tiba tubuh Mas Danu mengejang. Mulutnya mengeluarkan darah. Lintang semakin lemas. Tidak tahu harus berbuat apa. Waktu seakan berhenti dan dunia pun gelap.
*****
Bau obat tiba-tiba menyeruak masuk ke hidungnya. Lintang sadar dia ada di rumah sakit. Tiba-tiba Lintang teringat tentang meetingnya tadi. Lintang buru-buru bangun dari tempat tidur tanpa sadar infus masih menancap di tangannya.
“Auw.. “ jerit Lintang ketika jarum infus itu nyaris merobek tangannya. Untunglah pada saat yang bersamaan Awan,teman sekantor Lintang masuk ke kamar Lintang. Awan sangat kaget ketika melihat Lintang kesakitan.
“Kamu kenapa,Lin. Istirahat aja dulu.” kata Awan.
“Meetingku gimana,Wan? Klienku gimana? ” tanya Lintang.
“Udah,kamu nggak usah mikirin meeting dulu. Udah diurusin sama Harry tadi. Aku panik banget waktu tau kamu pingsan di deket Malioboro.” tutur Awan.
“Pencopetnya gimana?” tanya Lintang lagi.
“Ngapain mikir orang yang nyopet kamu? Tadi sih aku liat kayak sekarat gitu.” jawab Awan enteng.
“Hah,sekarat? Nggak mungkin. Anter aku ke rumahnya,Wan. Aku mohon.” pinta Lintang. Air mata mulai keluar dari sudut matanya. Bagaimanapun juga Lintang tidak ingin kakaknya meninggal.
“Lho,kamu kenapa sih? Kok pake acara nangis segala?” tanya Awan.
“Udah,jangan banyak tanya. Anter aku ke sana.” perintah Lintang.
Setelah mendapat ijin dokter,Lintang dibantu Awan mencari alamat Mas Danu. Sepanjang jalan Lintang hanya diam dan menangis. Tiba di sebuah gang sempit,Lintang langsung turun dari mobil Awan. Lintang melihat sebuah rumah yang ramai dipenuhi orang. Langsung saja Lintang menyeruak masuk ke dalam rumah itu dan menemukan Mas Danu ditidurkan di kursi dengan kondisi memprihatinkan. Hatinya sedikit lega ketika melihat Mas Danu. Awan hanya berdiri diam di belakang Lintang.
“Lintang…” panggil Mas Danu “ Mas bisa jelasin… Mas tau kamu marah sama Mas. Perlu kamu tau sekasar-kasarnya mas sama kamu,Mas nggak pernah ngejual kamu buat jadi pengemis. Mas dulu pura-pura ikut jual kamu karena Mas diancam kamu akan dibunuh karena kalau kamu nggak benci sama Mas,kamu akan kepikiran keluarga kamu dan mereka pikir kamu nggak akan mau ngemis. Tadi pun Mas nyopet kamu bukan untuk Mas tapi untuk nyari biaya berobat buat temen mas yang kena tetanus. Mas harap kamu percaya sama mas. Mas sayang banget sama kamu. Adek mas satu-satunya.”
Lintang terdiam. Matanya memandang Mas Danu. Tidak ada kebohongan dalam sorot mata Mas Danu. Lintang langsung berlutut dan memeluk kakaknya. Rasa rindu yang telah tertutup dendam kini menyeruak keluar seiring dendamnya yang mulai hilang.
“Lintang sayang Mas Danu.” kata Lintang sambil menangis sesenggukan.
“Mas juga sayang sama Lintang.” kata Mas Danu lalu memeluk Lintang erat seakan tak ingin kehilangan adiknya lagi.